Minggu, 07 November 2010

bab 1

27 September 2011

Rex International, perusahan minyak raksasa dari Amerika Serikat mendadak collapse di bursa saham, menyusul insiden bocornya kilang minyak lepas pantai mereka tidak jauh di dekat daerah laut Bermuda.

12 Oktober 2011

Infeksi pertama teridentifikasi di St. Petersberg, dan meluas dengan cepat menjangkiti kota sekitarnya. Satu minggu setelahnya, seluruh negara bagian Florida resmi menjadi area terlarang. Daerah perbatasan diperketat. Perintah tembak mati di tempat diberlakukan bagi siapapun yang hendak melewati perbatasan.

21 Oktober 2011

Tim peneliti WHO berhasil menyusun identitas virus tersebut berikut sifatnya. Rex-virus, demikian mereka menyebutnya, memiliki kemampuan menginvasi DNA makhluk hidup yang dijangkitinya, bahkan tak jarang mengubah susunannya. Diperkirakan virus akan membunuh 50% populasi dunia jika tidak berhasil diisolasi. Dan dari total populasi yang selamat tersebut 50% akan berubah menjadi beast. Lalu kurang dari 0.0001% kemungkinan dari populasi yang selamat akan memiliki DNA yang membuat mereka tidak dapat lagi disebut sebagai manusia ataupun beast. Mereka diidentifikasi sebagai evolved.

24 Desember 2011

Infeksi masuk ke Eropa, melalui pelabuhan ikan di Lisbon, Portugal.

17 Februari 2012

Seluruh daratan Eropa dinyatakan terinfeksi. Diperkirakan paling lambat 6 bulan setelahnya Rex-virus akan menjangkau seluruh Asia, Afrika, dan Australia.

8 Juli 2012

Infeksi telah menjangkau seluruh dunia. WHO menerbitkan resolusi kontroversial-nya, “Dunia harus menerima kenyataan dan mencoba hidup bersama para beast sampai vaksin berhasil dikembangkan”.

9 Juli 2012

Dewan Keamanan PBB mengesahkan berdirinya Tactical Counter-Beast untuk mengkoordinasi permasalah yang timbul akibat sengketa dengan beast.

Infectious: Kill The Hunter

Infectus terlahir dengan gen yang kebal terhadap Rex-virus. Merekalah sisa populasi dunia yang selamat dan tidak berubah menjadi beast. Tapi bencana itu sebenarnya hanyalah permulaan. Manusia terpaksa hidup terkurung di kota, dan harus berhati-hati berjalan di bawah bayangan. Berpasang-pasang mata mengintai di sana, menunggu hingga mangsa telah cukup dekat. Lalu jika sang predator telah merasakan daging manusia, tidak ada cara lain untuk menghilangkan ketagihan itu selain dengan membunuhnya.

“Modar kowe!” seorang tua berseru. Bersama dengan beberapa orang lelaki lainnya, kaki-kaki kuat mereka melumat bangkai yang bahkan telah koyak itu, seakan onggokan daging itu memang terlahir hina dan sangat pantas untuk mati. Darah berkecipakan, semakin menambah kesan abstrak pada rona merah di lantai ubin putih. Amarah mereka bahkan lebih anyir menguar. Namun amarah berlebihan tersebut justru memperlihatkan jelas ketakutan mereka. Beast hanyalah istilah halus untuk menyebut makhluk itu. Di mata orang-orang yang telah dengan sengaja membutakan hati, makhluk itu adalah monster, seakan tidak ada bekas ingatan bahwa dulunya para beast juga manusia. Setidaknya sebentar lagi semuanya akan berakhir ketika jam menunjukkan pukul tujuh, saat tim pembersih mulai melaksanakan tugasnya—tim pembersih harusnya sudah menyingkirkan bangkai itu begitu operasi selesai, tapi sepertinya sedang ada masalah koordinasi. Hal seperti ini biasa terjadi jika ada serangan mendadak sehingga hunter terdekat dipaksa untuk mengambil inisiatif.

Di sisi lain, seorang gadis belia tidak ambil pusing pada mayat tersebut. Dia seorang hunter, walau memang bukan dirinya yang memotong-motong tiga beast tersebut. Di salah satu warung kecil di stasiun Tawang Semarang, ia membayar atas dua bungkus roti, sebotol aqua botol ukuran sedang, satu kopi kalengan, serta koran pagi. Ia lalu berjalan ke arah sebuah kursi panjang, di mana seorang pria berpenampilan hampir memasuki tiga puluh tahunan sedang duduk santai memandang lurus ke arah jalur kedatangan kereta.

“Koran”, kata gadis itu.

Pria itu melirik sebentar dengan tatapan tajam yang siaga, tapi sekaligus juga terkesan malas. Dia buru-buru mengisap rokoknya dalam-dalam, segera mematikannya, lalu menjulurkan tangan meraih koran itu. Rambutnya hitam pendek, sedikit bergelombang. Wajahnya tirus, dengan kumis, jenggot, serta cambang halus.

Setelah korannya berpindah tangan, gadis itu menghambur barang belajaannya di kursi. Dia sedikit berdendang ceria, lalu duduk di samping pria tersebut. Tangannya menjangkau roti bungkus di sampingnya, merobeknya, dan ia pun mulai melahapnya sebagai sarapan pagi.

Pria itu mengangkat kaki dan bersila sebelah, lalu membentangkan korannya untuk dibaca. Di sisi kanan pangkal pahanya terlihat sebuah shotgun tipe pump-action. KS-23M rifled bore kaliber 23mm, dengan ujung pangkal senjata yang telah dilepas—meminimalkan ukurannya hingga panjangnya tersebut hanya sedikit melewati lututnya. Dua sabuk peluru melilit di pinggangnya bagai ikat pinggang, serta tiga lagi di paha kirinya yang membebat di jeans biru gelap. Amunisi lainnya ia sembunyikan di balik jaket hitam panjang yang dikenakannya. Sebentar kemudian tangannya meraih kopi kalengan di sampingnya, membuka pin-nya, dan lalu, masih dengan mata yang melekat serius pada tulisan-tulisan di bawah pandangan matanya, ia menegak minumannya.

“Apa yang menarik dari koran itu?” gadis di sampingnya bertanya tiba-tiba. Suara mengunyah sedap darinya memberitahukan jelas nafsu makannya yang sedang tidak tertahankan.

“Tepat enam tahun dan masihkah kita harus menunggu?” pria itu balas bertanya.

“Huh?” gadis itu menoleh bingung.

“Judul artikel”, katanya santai. “27 September 2017, enam tahun lalu ketika Rex International membebaskan virus itu dari perut bumi…”, dia membaca sebentar dengan gumam pelan, namun kemudian mendesah lelah ketika sadar bahwa hanya ada keluhan demi keluhan pada artikel tersebut. Mereka terlalu ribut, padahal manusia sekarang ini harusnya cukup membiasakan diri saja untuk hidup dengan cara yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Rasionalitas absurd dari teori-teori kemanusian aneh—seharusnya semua bisa lebih sederhana dengan hidup yang berdasarkan insting. Dia beralih sebentar ke gadis kecil di sampingnya, “Rina, menurutmu mana yang….”

“Boleh aku minta rotimu?” tanya gadis itu polos.

“Hah?” dia hanya bisa memandang saja gadis itu dengan heran. Wajah tersebut begitu kekanak-kanakan, dengan mata coklat madunya yang berbinar penuh harap. Rambutnya hitam sebahu, agak kusam. Perawakannya agak kecil untuk anak seumurannya. “Beli lagi sana”, lanjut pria tersebut.

“Yang rasa kacang ijo habis”, gadis itu berusaha merayu, dengan bibir manyun yang dibuat-buat.

“Ck, ambil saja kalau begitu”.

Alisnya terangkat, air mukanya berubah berseri, “Beneran tidak apa-apa?”

“Ambil saja; anak kecil perlu banyak makan”.

“Yay! Makasih Fikar!” Rina menyambar roti di sampingnya, merobek bungkusnya cepat-cepat, dan melahapnya dengan senyum lebar. Dia kembali berdendang kecil di antara decak kunyahannya.

Fikar kembali dengan korannya, dalam hati sedikit kecewa karena dipikirnya ia bisa sedikit berdiskusi masalah insting tersebut pada Rina. Bagaimanapun juga evolved sepertinya pasti lebih paham soal itu. Mereka tidak terlalu berdasar pada rasionalitas untuk hal-hal menyangkut bertahan hidup; instinglah yang menilai baik-tidaknya suatu tindakan. Tapi sudahlah, dia memang bodoh sempat berpikir gadis 14 tahun tersebut akan tertarik dengan politik dunia.

“Bosannnn….” Rina mendadak berseru kesal, dia lalu berpaling cepat ke samping, “Hey, Fikar, kapan keretanya datang?”

Pria itu melirik sebentar arlojinya, “Seharusnya sudah dari 10 menit yang lalu”.

“Lama!” geram Rina.

Fikar diam saja, tidak lepas dari korannya.

Sesekali pria itu mencuri pandang ke samping. Tiap selang satu menit posisi duduk Rina hampir selalu berubah. Mungkin orang-orang di sekitar sudah sangat tertarik dengan tingkah Rina yang jungkir balik berganti posisi di kursinya. Dia juga bosan kalau disuruh menunggu seperti itu, bahkan semua orang juga pasti bosan. Tapi Rina tentu tidak akan pernah kehabisan ide dalam mengekspresikan kebosanannya tersebut.

Hampir dua puluh menit lamanya mereka hanya diam menunggu. Fikar meramal, jika Rina dipaksa berdiam diri lebih lama lagi, dia segera akan bertingkah bagai badut sirkus dengan segala tingkah-polahnya. Yang perlu dilakukannya kemudian hanyalah menaruh wadah untuk tempat uang dilemparkan, sebagai upah menonton pertunjukan spektakuler tersebut. Dan kemudian Rina yang sedang melipat diri setengah tiduran di kursi pun mendadak terbangun, seakan menemukan kembali semangatnya. Kekesalan Fikar sontak memuncak ketika Rina dengan mendadak menarik turun koran yang dibacanya. Wajah gadis itu tersembul, menatapnya dengan pandangan setengah menuntut, “Fikar, ayo pulang. Kita tidak salah. Kan dia yang telat”.

Fikar berusaha memaklumi anak satu itu, memperingatkannya dengan suara datar, “Pimpinan akan marah”.

“Tidak apa-apa, om Rudi kan baik”, Rina nyengir.

Fikar berpikir sebentar. Tentu saja orang itu tidak akan marah pada Rina. Tapi sebagai seorang penanggung jawab, dirinya lah yang akan kena masalah. “30 menit lagi, oke?” kata Fikar kemudian.

“Buh!” Rina mengeluh kesal, tapi mendadak kembali tenang, dan sepertinya memutuskan untuk menurut saja. “Ya sudahlah”. Dia kini duduk di kursinya dengan cemberut.

Fikar membetulkan korannya yang kusut dan lanjut membaca.

“Fikar”, selang beberapa saat Rina memanggil lagi, terdengar agak seperti merayu.

“Apa?” Fikar bertanya lesu, berusaha tampak seakan tidak peduli, dengan perhatian yang masih melekat pada koran di hadapannya. Anak satu ini… padahal dari tadi dia merengek-rengek ingin ikut menjemput, dan sekarang malah tidak bisa diam ingin pulang.

“Keretanya datang”, kata Rina.

“Oh”. Jawaban itu agak di luar dugaan. Fikar menengok sebentar ke arah datangnya kereta. Perlahan lajunya mamasuki stasiun, diiringi bunyi rem dan gesekan roda pada rel. Fikar telah mengemas korannya dan menunggu tenang di kursinya.

“Oh! Ada dua Infused loh”, Rina berseru semangat, “Siapa kira-kira?”

Fikar berpaling ke arahnya, melihat Rina yang memejamkan kedua matanya. Hidungnya terlihat kembang-kempis mengendus bau yang dibawa oleh angin.

“Hanya Tristen saja kok”, ujar Fikar.

“Beneran ada dua kok. Hunter pengawal ada empat, kan?” Rina berpaling cepat, terlihat menggebu-gebu bertanya dengan ekspresi wajahnya; Fikar membenarkan dalam hati—yang dimaksud Rina dengan hunter pengawal adalah para hunter yang bertugas di atas kereta, memastikannya aman dari serangan beast selama perjalan. Sedangkan Infused yang dikatakannya barusan adalah mereka yang telah dengan sengaja diinjeksikan MRV (Manipulated Rex Virus), dan hunter adalah orang-orang yang mau mengambil resiko tersebut, yang sewaktu-waktu bisa mati mendadak jika virus itu berontak. Sebagian besar hunter yang dimiliki Republik Indonesia merupakan orang-orang terbaik dari ketentaraan-nya yang kemudian dikirim ke Tactical Counter-Beast (TCB) pusat di Prancis untuk lisensi hunter mereka serta untuk mendapatkan pelatihan lebih lanjut. “Dua. Jadinya ya ada dua”, Rina terlihat berapi-api, membentuk simbol angka dua dengan jari tengah dan telunjuknya.

“Mungkin dia penumpang yang mau ke Surabaya. Kereta ini kan tidak hanya berhenti di sini”.

“Tidak. Dia teman. Aku ingat bau-nya. Tapi siapa, ya?” Rina mengetuk-ngetuk dagu, berpikir dengan dahi berkerut. “Flo!” sahutnya tiba-tiba.

“Apa?”

“Flo! Flo! Ini bau Flo!” dia menarik Fikar untuk bergegas.

“Hey, hey, tunggu sebentar”. Fikar menegak banyak-banyak kopi kalengannya, mengampit koran di lengannya, mengambil aqua botol yang tinggal setengah, lalu beranjak pergi bersama Rina. Fikar berjalan sambil menegak kopi kalengnya, dan begitu isinya telah habis, ia melempar masuk kaleng kopinya yang telah kosong itu ke tempat sampah terdekat.

Kereta telah berhenti sempurna. Orang-orang berkerumun menanti di depan pintunya. Fikar dan Rina memilih untuk menunggu sedikit lebih jauh di belakang. Tidak mengenakkan jika ikut berdesakan—sebenarnya itu karena Fikar tidak suka menjadi perhatian berpasang-pasang mata ingin tahu. Penampilannya memang lumayan mencolok, terlebih dengan shotgun yang dibawa-bawanya. Rina awalnya ingin ikut membaur, namun kemudian memutuskan untuk menunggu di samping Fikar. Penampilannya tidak mencolok. Berkebalikan dengan Fikar, ia terlihat begitu normal dengan celana pendek, serta kaos putihnya yang bergambar boneka kapas bulat.

“Floooo….Floooo….” Rina berteriak riang saat seorang gadis tinggi semampai keluar dari kereta. Kulitnya kuning langsat, sedikit lebih putih dari orang Indonesia kebanyakan. Rambutnya yang lurus panjang diikat kuda ke belakang, berwarna hitam, agak kecoklatan bekas dicat. Dia terkesan santai dengan atasan blus putih cerah berlengan pendek, serta celena katun selutut berwarna coklat. Nama di porto folio-nya, Floretta Ayu Perdani. Dua tahun lalu ia sempat ditugaskan di kota ini ketika TCB Indonesia wilayah Semarang kekurangan banyak orang akibat gelombang serangan beast selama seminggu penuh di sektor 6 – wilayah ujung selatan Semarang. Dan sesuai dengan porto folio itu juga, seharusnya tahun ini dia berumur 24 tahun.

Senyum merekah lebar, dan Rina pun seketika langsung berlari sambil dengan antusias meneriakkan nama Flo.

Gadis yang dipanggil segera mengenalinya. “Rinaaaaa!” dia balas berteriak memanggil.

Selanjutnya kejadiannya pun berlangsung seperti di film-film. Flo menjatuhkan tas backpacker-nya ke lantai, sedikit menekuk lutut, menyambut dengan tangan terbuka Rina yang berlari ke arahnya. Beberapa langkah kemudian senyum di wajah Rina berubah menjadi sebuah seringai. Flo pun segera mengganti senyum di wajahnya dengan seringai—pertanda ia menerima tantangan itu. Tangan Rina seketika mengepal, lalu sesaat kemudian sebuah tinju terayun cepat. Dengan lincah Flo meliuk menghindar, bersamaan dengan itu ia menjegal pijakan Rina. Sikutnya menghantam leher Rina, mendorongnya ke belakang hingga terjengkal ke udara. Telapak tangannya mencengkram wajah gadis kecil itu, lalu dengan satu hentakan keras membenturkannya kuat-kuat ke lantai.

“Ahahahaha….” Flo tertawa. Orang-orang langsung beralih ke arahnya, menoleh dengan tatapan mata antara terkejut bingung serta takut-takut khawatir; lantai remuk dan kepala Rina terbenam di situ. Sepertinya memang bukan pemandangan yang normal, sekalipun mungkin itu adalah adegan di film-film.

Tristen terlihat kemudian di antara kerumunan, dengan lengkung pedang katana yang digenggamannya pada tangan kanannya. Dia sepertinya masih hanyut pada tingkah brutal Rina dan Flo, yang dengan kebingungan menatap lekat-lekat mereka berdua. Tapi kemudian ia pun tersenyum menyapa saat mendapati Fikar yang berjalan mendekat ke arahnya—dan Fikar pun balas tersenyum. Tristen Leroy adalah seorang pria berumur 32 tahun. Rambut coklat pirangnya jatuh hampir menutup hingga wajahnya. Tulang mukanya merupakan perpaduan yang nyaris sempurna antara ibunya yang berdarah Jepang serta ayahnya yang berkebangsaan Prancis.

Rina bangkit dan tiba-tiba saja telah menyapukan sebuah pukulan. Flo langsung melepas cengkramannya dan menghindar. Rina berdiri dan melayangkan satu dua pukulan lagi. Flo kembali berkelit menghindarinya. Dia lalu menangkap tinju berikutnya yang terayun padanya, menyusup ke belakang tubuh gadis itu, lalu dengan satu hentakan kuat mengantarkan muka Rina mencium gerbong….

DUONK!!

Dan seluruh badan kereta pun bergetar. Lempeng besi dinding luar gerbong itu peok ke dalam.

“Ahahahaha….” Flo tertawa lagi, kali ini lebih histeris—dan orang-orang pun semakin terpaku padanya, melongo tanpa bisa berkata-kata. “Tidak apa-apa—tidak apa-apa, dia kuat kok”, ujar Flo, menjawab berpasang-pasang lirikan mata yang tertuju padanya. Dengan susah payah ia berusaha menahan tawanya.

Rina pun berjalan lunglai ke arah Fikar dengan membawa perasaan kalah. Mukanya meringis. Hidungnya merah sehabis membentur gerbong kereta. Fikar lalu mengusap-usap rambut gadis kecil itu untuk membesarkan hatinya.

Flo telah hampir sepenuhnya mengendalikan gelak tawanya, juga mengendalikan diri untuk terlihat lebih feminim, ketika kemudian ia mengucap salam sambutan pada Fikar, “Maaf terlambat, Tuan Wakil Komandan”, ia tersenyum canggung, baru menyadari kebodohannya telah berlebihan menyapa Rina. “Ada serangan sewaktu dalam perjalanan tadi”, lanjutnya.

Dan tiba-tiba saja ia kini dapat dengan jelas mendengar kerumunan orang-orang di sekitarnya yang berbisik-bisik membicarakannya. Tentu itu memang perbuatan paling idiot—tapi ia bukan tipe wanita yang dengan mudahnya akan melompat menerkam jika mood sedang tidak baik. Fikar bahkan mungkin saja telah salah paham. Ini tidak baik, dia adalah gadis dengan jiwa keibuan. Flo meringis, semakin canggung dengan bisik-bisik di sekitarnya—kenapa mereka mengucapkannya begitu keras seakan ingin semua orang tahu? Seakan ingin membuat Fikar, pahlawan mereka, berpikir dua kali padanya? Ah, kenapa juga ia harus sebegitu pedulinya memikirkan bagaimana dirinya terlihat di mata pria itu? Tapi mereka semakin keterlaluan!

“Yang penting kau sudah datang. Rina tidak sabar menunggumu loh”, kata Fikar hangat.

Dengan susah payah Flo akhirnya berdamai dengan dirinya untuk tidak meneriaki orang-orang di sekitarnya agar menyudahi bisik-bisik serta lirikan-lirikan mata mereka. Ia berusaha tidak peduli pada sekelilingnya. Ia beralih ke arah gadis kecil di samping Fikar, tersenyum dan berkata ramah, “Benarkah, Rina?”

Rina mengangguk—dia tampak masih kesal telah dikalahkan.

Flo menatap senang teman kecilnya itu, “Nah kalau begitu kau harus berlatih denganku nanti”.

Rina mengangguk lagi.

“Hello Rina”, Tristen tiba-tiba menyapa.

Dengan segera Rina berpaling pada panggilan itu. Untuk sesaat lamanya dia menatap dalam kebekuan, kemudian berkedip-kedip bingung, dan tiba-tiba menjerit heboh, “Aaaaa….” dia menoleh cepat ke samping, “Fikar, Tristen bisa bicara!”

Fikar memandangnya bingung, Flo dan Tristen juga.

Tristen lalu tertawa canggung. “Lama tidak berjumpa, ya?”

Rina kembali menengok ke arah Fikar dengan takjub. Mukanya berseri-seri, matanya berkilauan. “Dia bisa Bahasa Indonesia juga!”

Tristen tersenyum sekenanya, dia sepertinya mulai merasa tidak nyaman dengan binar mata Rina yang menatapnya takjub. “Tentu saja. Kan saya sudah hampir empat tahun di sini”.

Mereka mulai berjalan menuju pintu ke luar. Rina menawarkan diri untuk menarik koper kecil Tristen. Sepasang matanya sulit teralihkan dari Tristen. Senyumnya melengkung dengan lebarnya. Sesekali ia bergegas mempercepat langkahnya, lalu berjalan mundur hanya untuk mengamati lekat-lekat wajah Tristen—sepertinya menunggu pria itu untuk mengucapkan beberapa patah kata.

“Ingat cerita Malin Kundang?” dengan sedikit malas Fikar mulai angkat bicara, “Dia harus berhati-hati, tidak boleh sembarangan bicara. Ucapan Tristen itu ada sihirnya. Bagaimana kalau kau tiba-tiba jadi batu karena dia salah mengucapkan kata sihirnya?”

“Benarkah?” Rina terlihat takjub.

Tristen tertawa, pura-pura mengiyakan.

“Jangan ganggu dia—kalau marah nanti bagaimana coba?” lanjut Fikar.

Rina menunduk lesu, sedikit takut.

“Aku juga bisa sihir”, Flo menyela. “Nanti kuubah kau jadi ulat bulu”.

“Buh! Flo banyak bicara tapi sihirnya tidak ampuh”.

“Hah?” gadis itu terkejut dengan jawaban Rina, tapi kali ini ia bersikeras untuk menahan diri tidak saling ejek dengannya. Fikar menatap minta maaf. Flo tertawa, memaklumi jawaban itu.

“Hey, tinggimu hanya bertambah sedikit ya”, kata Flo lagi. Dia meletakkan telapaknya di kepala Rina.

“Nanti juga jadi lebih tinggi dari Flo!”

“Oh, ya?”

Rina mendengus kesal.

“Oh ya—Flo, aku tidak dengar kau akan ikut juga”, ujar Fikar.

“Mau main ke rumah nenek”, Flo tersenyum hangat.

Dan Rina pun tiba-tiba menandukkan kepalanya ke punggung Flo; dia tidak suka Flo memandang Fikar terlalu lama. Sesuatu dalam diri Rina berkata bahwa itu adalah hal yang sangat berbahaya.

***

Di kedua tangannya Rina membawa mangkuk mie yang telah kosong ke dapur. Satu adalah punyanya, dan satu lagi punya Fikar. Mangkuk itu berdenting ketika ia menaruhnya di bak cuci piring. Tidak jauh di sebelahnya periuk telah mendidih. Letupan buih uap dalam periuk itu mendesak penutupnya, membuat air di dalamnya mulai menetes keluar.

“Fikar, airnya sudah mendidih!”

“Ya”, sahut Fikar, “Tolong dimatikan kalau begitu”.

Rina memutar knob kompor, dan apinya pun padam. Dia kembali ke bak cuci—tangan mungilnya bergerak naik-turun menyabun mangkuk makannya. Sebentar kemudian ia mendengar bunyi air dari arah kamar mandi. Ia cepat-cepat membilas bersih sabun yang masih melekat dengan air dari ember di sebelahnya. Setelahnya, ia pun pergi menengok suara air itu. Lantai kamar mandi dipenuhi ember-ember, dengan air yang tumpah ruah—air cuma jalan tiga hari sekali di sini, jadi mereka harus menampungnya sebanyak mungkin.

“Fikar, keran airnya jalan terus!” Rina kembali berseru nyaring.

“Apa?”

“Embernya sudah penuh semua!” dia melangkah masuk ke kamar mandi.

“Tolong dimatikan juga donk”.

Rina memutar keran, ujang selang pun kini berhenti mengalirkan air. “Buh! Orang dewasa pemalas”, gumamnya—tentu saja harus dimatikan kalau sudah penuh, tapi masa harus selalu sampai tumpah-tumpah dulu? Dan lagi-lagi dia yang harus mematikannya.

Rina berjalan kembali ke ruang utama apartemen kecil mereka. Di sana Fikar telah mulai menyatukan kembali bagian-bagian shotgun yang sebelumnya ia lepas untuk dibersihkan.

Rina menumpu malas pada sandaran sofa. “Fikar, ayo ke rumah nenek Flo”.

“Jangan deh, besok saja. Takutnya kita mengganggu”, tangan Fikar bergerak cekatan memasang kembali tiap-tiap bagian dari senjatanya. “Kan Flo sudah lama tidak sama-sama neneknya”. Firing pins, bolts, serta action bar, akhirnya telah terpasang di receiver. Tempat sampah di dekatnya telah penuh oleh gumpalan-gumpalan kapas katun bekas dipakai membersihkan. Di atas meja di depannya berserakan lap kotor, kaleng pelumas, batang panjang dengan bulu sikat untuk membersihkan bagian dalam barrel, serta sikat gigi yang bulu sikatnya telah menghitam.

“Tapi tadi Flo sms, katanya mereka mau buat kue serabi. Katanya Rina suruh diajak”. Rina mengayun-ayunkan badannya di sandaran sofa, naik dan turun.

“Hah?” Fikar berpaling, menatap Rina yang tersenyum di sampingnya. Kepala gadis itu terbalik ke bawah, menggunakan sandaran sofa sebagai tumpuan keseimbangan.

“Tadi Fikar lagi mandi, jadi Rina buka”, katanya, sambil tersenyum lebar penuh harap.

“Sudah kubilang jangan suka buka pesan milik orang sembarangan”, Fikar kembali memasang bagian shotgun lainnya. “Kalau kamu baca duluan, nanti aku tidak tahu kalau ada pesan masuk”. Terakhir ia menyatukan kembali barrel dan forend ke receiver, memasukkan per ke dalam lubang forend, dan akhirnya memasang sekrup penutup forend.

Fikar berdiri, berjalan langsung menghampiri lemari dapur.

“Tapi kan Rina selalu bilang”.

“Kalau kamu lupa?” Fikar menyahut cepat membalas ucapan Rina. Dia lalu membuka kotak pendingin warna putih yang ukurannya tidak lebih besar dari toples-toples kue yang ada di rak atas lemari itu. Ia mengambil suntik dari dalamnya, kemudian berjalan kembali ke ruang tengah.

“Tidak. Rina pasti bilang kok!” seru gadis itu dengan kesal.

Fikar mengangkat kakinya tinggi-tinggi, melangkahi sofa tempat di mana Rina berayun-ayun pada sandarannya. Ia langsung menjatuhkan diri dan kini telah duduk dengan santai.

Mata Rina mendadak membesar, menatap ingin tahu suntik yang dibawa Fikar, “HPIR-3, ya?” tanyanya.

“Sudah hampir 2 bulan”. Fikar kemudian menyuntikkan cairan bening kekuningan di tabung suntik itu ke dalam tubuhnya. Immunogen HPIR-3 (High Penetrated Immunogen Rex -3) adalah sejenis molekul protein khas yang berperan sebagai anti rijeksi, sekaligus juga untuk menjinakkan agresifitas MRV dengan cara merangsang respon imun adaptif tubuh untuk menghazilkan zat yang dapat memerlambat gerakannya hingga terkesan virus tersebut seakan sedang tertidur, atau tanpa aktivitas sama sekali. Batas toleransi paling lama adalah 2 bulan, lebih dari itu keseimbangan hormonal tidak dapat terselamatkan lagi—dalam keadaan aktif, MRV akan menyerang kelenjar hipotalamus di otak.

“Kan bahaya injeksi telat seperti itu”, Rina menatap ngeri saat jarum suntik menusuk lengan kanan Fikar. Dia evolved, jadi tidak butuh suntik-suntikan seperti itu. Sepertinya sakit sekali, tapi Fikar terlihat biasa saja—dia memang pria dewasa yang berani sih. Waktu SD dulu pernah ada suntik-suntikan seperti itu juga, tapi sampai sekarang pun dia tidak pernah suka sama jarum suntik—kan katanya AIDS berasal dari jarum suntik, makanya dia tidak akan sudi menyentuh jarum suntik!

“Tenang saja, aku ini kuat”, Fikar telah selesai dengan suntikannya. Ia lalu melemparnya masuk ke tempat sampah di dekatnya. “Lagipula semua pasti ada efek sampingnya, jadi sebaiknya tidak sering-sering, kan?”

“Tapi Fikar kan agak pelupa”, Rina menatap khawatir, dia kini telah berhenti berayun-ayun.

“Heh—aku tidak pelupa menyangkut nyawaku”. Fikar membereskan barang-barangnya yang berhamburan di atas meja.

“Fikar, ayo donk”, kalimat itu terdengar seperti sebuah rayuan.

“Apa?” tanya Fikar, mulai menebak hal apa lagi yang sedang berkelebat di pikiran gadis satu itu.

“Serabi. Kan kita diundang. Jadi pasti tidak merepotkan”.

Tangan Fikar meraih kaleng pelumas di dekatnya. Dia berpikir sebentar untuk kalimat ajakan Rina barusan—sepertinya memang tidak ada salahnya. “Apa boleh buat kalau begitu”.

“Yay! Fikar baik! Aku mau ambil kacang ijo dulu”.

“Ambil apa?”

“Kacang ijo!” teriak Rina. Dia telah berlari ke arah dapur.

“Tidak usah. Nanti repot bawanya”.

“Makanya kita pergi cepat-cepat—buatnya di sana”. Dia telah kembali dengan seplastik kecil kacang ijo. “Serabi kacang ijo”. Senyumnya lebar.

Fikar mengangkat alis. “Ya sudahlah—terserah kau saja. Aku ganti baju dulu”.

Beberapa menit kemudian mereka telah keluar dan kini berjalan di koridor. Rina berdendang di samping Fikar, berjalan dengan langkah ringan.

Ponsel Fikar tiba-tiba berbunyi—sebuah pesan pendek. Jam dan lokasi tertera di sana. Penjelasan lebih lanjut akan diberikan di lokasi. “Tugas”, kata Fikar kemudian.

“Aaaaaa….” Rina seketika menjerit panjang. “Kok harus kita sih?” Mukanya merengut kesal. “Minta tukar! Suruh Juno dan Abe!”

“Tidak boleh mengeluh kalau kerja”, ujar Fikar cuek.

“Tapi aku mau serabi kacang ijo”, isak Rina. Mukanya berubah masam. Mulutnya melengkung ke bawah. Ia kini berjalan dengan lesu.

“Itu bisa nanti”.

“Tapi kalau nanti, nanti merepotkan”.

Fikar melirik sekilas ke arah gadis itu. Walau Rina sering kali merengek dan merayu, dan sering kali pula Fikar dengan ketus menolaknya, gadis tersebut hampir tidak pernah sampai terlihat murung seperti ini. “Aku yang buat serabinya deh”.

“Fikar tidak bisa buat serabi!” sergah Rina cepat, dengan mata berapi-api.

Itu menohoknya—padahal nanti kan bisa minta resep dari neneknya Flo. Dangkal sekali nalarnya. “Aku bisa buat kacang ijo”, ujar Fikar lagi, tersenyum penuh kemenangan.

“Buatan Rina lebih enak!”

Itu menohoknya lagi. “Buatan ibumu lebih enak”.

“Aaaaaa…. Tidak boleh dibandingin dengan buatan ibu donk!”

“Rina juga belum bisa cuci baju sendiri”—yah, untungnya anak satu ini selalu bisa dengan mudahnya melupakan hal-hal yang membuatnya murung.

“Tidak ada hubungannya!”

“Suka ngompol juga”.

“Tidak pernah!”

***

“Tahan kereta itu, jangan sampai masuk stasiun”, kata Fikar, sedikit kesal. Langkahnya cepat, langsung menuju dua puluh personil Counter-Beast yang telah siaga tidak jauh di dekat box pengumuman. Seragam mereka abu-abu pucat, dari bahan liat untuk meredam sabetan cakar dan kuku tajam, juga lengkap dengan helm dan tameng, serta senapan serbu berpeluru tajam SS2-V1, buatan PT Pindad, salah satu industri alat militer terkenal di kawasan Asia-Pasifik.

“Kalau nanti aku ditabrak bagaimana?” Rina berlari-lari kecil berusaha mengimbangi langkah Fikar. Flo juga ikut, walau seharusnya dia bebas tugas. Katanya neneknya mengusirnya, tidak suka jika cucunya yang seorang hunter lisensi A diam saja sementara ada panggilan tugas. Tapi sebetulnya akan lebih baik seandainya dua orang itu tidak disatukan seperti ini—gara-gara tadi Flo memanas-manasi Rina untuk beradu kuat siapa paling banyak menumbangkan beast dalam operasi nanti, Rina jadi rewel ingin dikasih posisi strategis agar bisa menaklukan banyak beast melebihi Flo.

“Tidak akan”, jawab Fikar cuek.

“Beneran nih?”

“Kalau tidak di-rem ya kau bakal ditabrak”.

“Ah, kau jahat!”

“Kalau mereka mau nabrak, ya menghindar”.

“Oh, iya juga ya”, Rina tertawa. Dia pun berlari ke arah jalur kedatangan kereta.

Komandan regu segera memberi hormat, lalu memberikan detail lebih lanjut. Kantung-kantung pasir telah ditaruh sepanjang jalur rel, yang sedikit demi sedikit diharapkan bisa mengganjal laju kereta hingga akhirnya berhenti tepat sebelum meninggalkan stasiun. Ini adalah salah satu kejadian tidak biasa di mana beast membajak kereta—diduga mereka adalah tipe advanced. Tipe ini telah berkali-kali merasakan daging manusia, dan telah menunjukkan prilaku adiktif yang tidak bisa dihentikan. Tugas utama TCB adalah memukul mundur beast menjauh ke luar kota, tapi khusus untuk tipe advanced perintahnya adalah bunuh di tempat. Mereka terlalu lihai, tidak hanya berdasarkan insting tapi juga telah mulai memakai logika berpikir, juga karena beberapa tipe advenced terkadang ada yang menunjukkan kemampuan setara hunter lisensi A.

Stasiun telah dikosongkan. Mereka menunggu, menatap jauh ke kegelapan di arah jalur kedatangan. Detik demi detik, dan menit demi menit, lalu lampu kereta pun terlihat di kejauhan. Fikar dan Flo akan memimpin serbuan, membuka jalan sehingga mereka dapat mengambil alih kendali kereta, dan kemudian mematikan mesinnya untuk sepenuhnya menghentikan laju kereta. Daerah sekitar jalur kedatangan dan seluruh stasiun telah dikepung, juga dengan perintah yang sama, bunuh di tempat.

Kantung pasir pertama, kereta sepertinya tidak terlalu terpengaruh. Kantung pasir kedua, lajunya mulai turun. Kantung pasir ketiga, dan tiba-tiba terdengar dentuman keras lalu suara tabrakan—Rina memukul kepala kereta hingga keluar jalur dan menabrak depot kereta di dekatnya.

Fikar mengamuk, berteriak memanggil Rina. Dia setengah berlari ke arah gadis itu.

“Keretanya tidak mau berhenti!” Rina balas marah. “Masa sudah dekat stasiun tapi masih jalan cepat-cepat?”

“Ya jangan dipukul!” raung Fikar. Tidak diragukan lagi Rudi nanti akan bawel soal kerusakan dan ganti rugi.

Flo tertawa di samping Fikar. “Perintahnya kan tahan keretanya jangan sampai masuk stasiun”.

“Aku menyuruhnya menghindar!” ujar Fikar frustasi. Langkahnya cepat dan tegas. Dia mengambil tiga buah shrapnel-25, tipe peluru buckshot dengan jarak efektif 25 meter, yang kemudian diisikan ke KS-23M miliknya.

“Itu optional, hanya jika keretanya tidak dapat dihentikan. Dan dia bisa menghentikannya sebelum masuk stasiun, kan?” Tangan Flo menyelip ke balik punggungnya, menarik keluar dua buah belati dari sarungnya, jenis stabbing dagger.

Regu penembak jitu telah menempatkan diri di tiap titik strategis, yang nantinya akan memberi bantuan serangan sekaligus juga perlindungan. Di pinggir stasiun, tim alfa, yang terdiri dari dua puluh personil Counter Beast membentuk benteng pertahanan bagi regu penembak jitu tersebut, juga sebagai back-up bagi para hunter untuk skenario penyerbuan masuk. Tameng berjajar menyembunyikan mereka, dengan pucuk senjata yang mengintip.

Setelah debu yang bertebaran sedikit menipis, bau amis darah segera menguar tajam. Berpasang-basang mata bercahaya dari dalam gerbong-gerbong penumpang. Satu tangan besar tersembul keluar, dengan kuku tajamnya yang bagai pisau bedah. Kepalanya lalu mengintip keluar, berseringai dengan taring-taringnya, juga liur yang menetes keluar.

“Siap?” Flo kembali memanas-manasi Rina.

Rina mendengus kesal pada kalimat tantangan barusan. Dia kemudian tiba-tiba saja telah melesat tanpa pikir panjang, dan bersamaan dengan itu sekitar tiga puluh beast menghambur ke luar. Fikar berteriak marah memanggilnya, tapi Rina tidak peduli, dia akan menang kali ini. Dia yang paling kuat. Dia evolved. Dan evolved selalu yang paling kuat. Rina melompat tinggi, langsung ke jantung pertahanan musuh. Granat gas satu-persatu ditembakkan, dan meledak di belakangnya, mengepulkan kabut tipis asap kehijauan. Baunya kuat, dan sangat tidak mengenakkan bagi pemilik indra penciuman yang tajam. Ledakan lagi, oleh frag grenade yang menghamburkan pecahan-pecahan tajamnya ke area sekitar. Dan saat gelombang serangan itu kebingungan, peluru-peluru tajam melesat dengan bidikan-bidikan jitu.

Rina mendarat dengan hantaman tinju kuat, membuat bahu beast itu remuk seketika. Tubuh beast tersebut tidak proporsional, otot lengannya besar, tapi badannya sendiri terbilang kecil pendek. Darah berhamburan dari bahunya yang hancur, dan dia pun tumbang seketika. Satu lagi pukulan kuat dari Rina mengayun, kali ini telak menghantam perut beast yang penampilannya begitu mirip kadal. Ia juga tumbang dengan satu pukulan tersebut, terkapar sambil meronta-ronta sakit. Granat gas yang tadi ditembakkan telah menyamarkan aroma tubuhnya, walau ia sungguh tidak suka dengan baunya yang keras itu. Dan sekarang Rina justru mencium sesuatu yang tidak biasa—bau ibunya. Dalam kebingungan itu satu kepalan tangan besar terarah langsung ke arah mukanya. Sebuah seringai lebar di antara gigi-gigi tajam dan liur pekat itu meremehkannya. Rina tidak berusaha menghindar, dia beradu tinju dengannya. Lengan beast tersebut langsung hancur. Dia mengaum kesakitan, tapi Rina tidak lagi peduli padanya, tidak lagi tertarik dengan pertempuran ini, juga tidak untuk taruhannya dengan Flo. Dia mulai melangkah, mengikuti nalurinya pada bau itu. Sekarang ketika dia sama sekali telah kehilangan minat untuk bertarung, ia sepertinya membaur sempurna di antara para beast yang menghambur menyerang. Mereka tidak menghiraukan Rina, seakan gadis itu adalah bagian dari mereka.

Lurus ke depan, ia melihat sosok beast berlengan sulur. Sulur-sulur itu mirip belalai, bergerak bagai gelombang seakan memanggilnya untuk mendekat. Seringainya bahkan seakan seperti tersenyum. Lalu tanpa sadar Rina mulai berjalan langsung menghampirinya. Mungkin dia lah yang memberitahukan pada kawan-kawannya bahwa Rina adalah anaknya, lagipula evolved dan beast pada dasarnya memiliki bau kehadiran yang mirip, seperti misal dia tahu bahwa Tristen adalah seorang evolved juga. Evolved melindungi manusia—adakah evolved yang melindungi beast? Karena ia akan melindungi ibunya, apapun kata Fikar nanti. Tidak, Fikar pasti bisa mengerti—bukankah kita semua hanya perlu menunggu sampai vaksin berhasil dikembangkan? Yang perlu dilakukannya hanyalah berada di sisi ibunya yang memanggil itu.

“Rina!”

Fikar memanggil.

Lengan sulur itu sekali lagi mengayun lembut, bagai ombak membelai pasir putih.

“Rina!”

Fikar meraung lebih keras.

Rina meminta maaf pada suara panggilan itu. Ibunya pasti akan marah kalau dia tidak dengar kata-katanya. Seperti waktu ia demam dulu. Kalau waktu itu dia dengar apa kata ibunya, dia pasti bisa ke pantai main air bersama Dewi dan paman Eno. Dia harus dengar apa kata ibunya, soalnya dia tidak ingin ibunya sedih. Yang nakal waktu itu kan Rina, ibu tidak perlu bersedih padahal….

“Rina!”

Fikar meraung khawatir. Rentetan peluru tajam dari senapan serbu terus dimuntahkan, menghalau laju serbuan para beast. Gadis itu tidak berada pada jarak di mana tim bisa melihatnya dengan jelas. Fikar menyumpah kesal dalam hati. Terpaksa ia akhirnya memberi tanda pada regu Counter Beast yang mem-back-up-nya agar menurunkan jarak boleh tembak hingga 20 meter.

Satu kepalan tinju besar menerjang ke arah Fikar. Fikar berkelit santai, mengambil lagi tiga sharpnel-10, lalu menembak muka beast raksasa di hadapannya. Dia terdesak mundur selangkah. Mukanya rusak, tapi tanpa pikir panjang kembali mengayunkan pukulannya. Fikar kembali menghindar, menembak pangkal lehernya, tapi dia hanya tersedak dan kembali memukul lagi. Makhluk itu terlalu keras, berdiri bagai benteng. Lalu sebuah terjangan cakar melesat, dari sosok beast yang tadinya bersembunyi di balik tubuh besar itu. Fikar mengelak santai, mendekat ke arahnya, kemudian ketika shotgun miliknya telah menempel tepat di wajahnya, pelatuk ditarik dan kepala itu seketika hancur berantakan. Sebuah pukulan lagi dari si raksasa. Fikar menunduk, mengambil sebutir sharpnel-10, kemudian menembak lututnya. Tangannya lalu menyelip lagi di balik jaketnya, mengambil sebutir barricade, sebuah 23mm proyektil baja padat, yang pada jarak efektif 100 m dapat dengan mudah menembus hingga menghancurkan mesin mobil. Raksasa itu memukul lagi, Fikar berkelit, memakai lututnya sebagai pijakan, dan menyelinap ke balik badannya. Senjatanya menempel di punggung si besar itu, dan dengan satu dentuman sebuah lubang besar tercipta. Dia roboh seketika.

“Flo, kau bantu tahan di sini”. Fikar dengan santai mengisi lagi KS-23M miliknya dengan sharpnel-10, sambil melangkah pergi dengan terburu-buru menuju kabut asap di mana kawanan beast terperangkap dalam kebingungan. Fikar memberi tanda lagi, meminta tiga dari lima orang regu penembak jitu untuk melindunginya. Satu beast melompat dengan kuku tajam yang siap terayun. Fikar tidak memedulikannya, dan dia memang tidak harus memedulikannya—dua peluru dari tim penembak jitu tepat menembus kepalanya, satu lagi menembus dada kirinya. Dia roboh.

“Tapi….” Flo berseru tidak setuju, namun kemudian langsung terdiam dan tidak memprotes lagi ketika melihat Fikar telah jauh darinya. “You’re the boss”, gumamnya lesu. Flo mencabut pisaunya dari dada kiri beast yang dilawannya, dan darah pun seketika tersembur deras sehabis jantungnya ditikam. Makhluk itu lalu jatuh, terkapar mencium tanah. Jarak boleh tembak sejauh dua puluh meter bukanlah ide bagus. Menahan serbuan saja sudah menyusahkan, apalagi jika harus melindungi tim di belakangnya.

Peluru tiba-tiba berhenti merajai pertarungan, dan para beast bersuka cita keluar dari kepulan gas kimia itu. Auman mereka bagai tabuhan genderang perang, menerjang cepat bak air bah. Mereka dapat melihat dengan jelas siapa kawan dan lawan, mereka bisa mencium dengan jelas beast atau mangsa. Semua tatapan-tatapan lapar itu seketika tertuju pada Fikar. Satu melompat hendak menerkam, yang segera dijawab Fikar dengan satu tembakan yang meremukkan kepalanya. Fikar mengokang senjatanya, sembari itu tangannya yang satu lagi menyusup ke balik jaketnya mengambil granat flashbang. Dua melompat menerjang ke arahnya, tapi tim penembak jitu berhasil menjatuhkannya segera. Satu lagi menerjang, Fikar menembak kepalanya. Fikar lalu menarik nafas dalam-dalam, menjatuhkan flashbang ke lantai, lalu berlari cepat menyelinap di antara mereka, berkelit dari ayunan-ayunan cakar dan kuku tajam. Bersamaan ketika Fikar telah masuk dalam kabut asap, flashbang meledak dengan suara nging keras, juga dengan sinar yang membutakan. Beberapa detik kemudian ketika para beast sudah mulai tersadar, mereka tidak lagi menemukan Fikar di sana. Mereka mengaum, lalu beralih dan menyentak cepat berlari menghambur ke arah tim alfa yang kini dikomandoi Flo.

Memasuki jarak dua puluh meter, SS2-V1 kembali memuntahkan peluru-peluru tajamnya menyambut gelombang serangan haus darah seringai kelaparan. Dengan bantuan dari penembak jitu, jumlah mereka berkurang hingga tinggal belasan. Tapi sayangnya mereka terlalu cepat memotong jarak. Flo bertolak menerjang untuk menarik perhatian mereka. Setetes ludah hijau tersembur ke arahnya, Flo menghindar.

“Apa ini?” suara di belakangnya, tapi Flo tidak berani untuk membagi konsentrasinya.

Satu semburan ludah lagi, dan kemudian sebuah terjangan cakar membelah udara—Flo menahan langkahnya, dia hampir dilumat ayunan cakar itu. Beast yang satu ini gerakannya cepat; dia yang pertama sampai. Dia menerkam, Flo menggerakkan sedikit tubuhnya ke samping untuk menghidarinya—bersamaan dengan itu dia menancapkan pisaunya di perut beast tersebut. Ketika beast itu menyentak menjejak tanah, isi perutnya terburai seketika. Dia berjalan tertatih-tatih ke arah Flo, bersiap dengan ayunan cakarnya lagi. Flo menangkap tangannya yang terayunan itu, lalu melemparnya ke arah sesosok beast lainnya yang telah sampai dan bersiap dengan kepalan tinju. Isi perut dari beast yang tadi disayatnya sontak terhambur ke luar begitu tinju itu menghantamnya. Flo, yang bersembunyi di baliknya, kemudian melompat keluar dan langsung menghujam leher penyerangnya. Dia menarik pisaunya ke samping dengan kasar, memutus pembuluh-pembuluh nadi di leher, dan darah pun muncrat ke luar bagai air mancur. Dua telah roboh.

Ludah-ludah kembali menghujan. Tapi kali ini sosok itu tidak membidiknya. Flo menoleh sekilas ke belakang, tameng-tameng yang digunakan tim alfa terlihat seperti meleleh, berlubang dengan cepat digerogoti cairan asam kuat dari ludah itu. Flo tercengang; dia seketika melesat cepat ke arah si peludah. Dia menunduk menghidar dari tinju yang melesat ke arahnya. Flo meraih lengan itu, lalu bangkit dengan upper-cut ke arah ketiaknya, melepas tulang dari persendiannya. Tanpa mengurangi lajunya dia kembali fokus melesat ke arah si peludah. Tapi dia tidak bisa melangkah lebih jauh lagi; sapuan cakar lagi-lagi memotong langkahnya. Dia terjebak. Satu, dua, tiga, lalu beberapa serangan lagi, dan akhirnya Flo memutuskan untuk bergerak mundur. Dia tidak berani mengambil resiko.

Flo terdesak mundur, dan parahnya back-up-nya tidak lagi dapat membantunya dengan maksimal akibat si peludah. Tim juga bergerak perlahan mundur ke belakang, dengan tetap menjaga formasi. Nafas Flo mulai tersengal-sengal. Dia menumpukan berat tubuhnya pada pisaunya, dan menikam dada kiri lawannya. Beast tersebut meraung kesakitan, tapi sepertinya jantungnya tidak terletak di situ; dia balas mengayunkan pukulan liar. Flo melompat mundur, menghindar. Flo menghentak, kali ini mengincar pangkal lehernya. Dia berhasil menikamnya, tapi sebelum berhasil merobek nadi-nadi itu, satu serangan datang dari samping. Dia terpaksa mundur, lalu kembali menerjang sekuat tenaga menusukkan pisaunya dalam-dalam ke perut beast tadi, lalu menarik robek ke samping. Isi perutnya tumpah. Satu sudah jatuh lagi, dan Flo kembali mundur untuk mengambil nafas.

Ini gila; tenaganya tidak akan cukup untuk menahan mereka semua. Flo terdesak, sudah hampir menempel ke pasukan back-up-nya. “Granat!” raungnya, sambil bergerak menghidari sapuan cakar. Dia beralih sekilas ke belakang, “Hey!” raung Flo lagi, “Granat!”

“Anda bertarung terlalu rapat, kami tidak bisa ambil resiko!” pria itu menekan pelatuk, menghujankan peluru menembus dada beast yang hampir mengoyak Flo dengan kuku-kuku tajamnya yang bagaikan pedang pendek.

“Memangnya kau hanya punya frag?!” satu beast hendak menerkamnya; Flo menghindar. Satu sapuan cakar mendadak bergerak cepat ke arahnya, “Ngehe lo babi…,” geram Flo sambil menunduk cepat, dan pada saat yang bersamaan menyabet urat pergelangan tangannya. Beast itu berteriak kesakitan, tapi Flo tidak memedulikannya, langsung bergerak menikam jantungnya. Satu beast menyergap—tapi kali ini bukan Flo yang jadi incaran. Serangan itu langsung mengarah ke pasukan. Tubuh beast tersebut langsung dihujani peluru sebelum sempat merasakan daging segar. Dua lagi menerjang, melewati saja Flo yang sedang bertarung. Flo berhenti dengan gerombolan beast di hadapannya, dan segera mengejar dua beast tadi. Satu berhasil ditumbangkan dengan hujan peluru, tapi yang satunya lagi berhasil mengacak-acak formasi tim alfa. Flo melompat tinggi, langsung menikam belakang leher beast tersebut. Tim alfa mundur lebih jauh. Sedetik kemudian ayunan tinju melesat cepat ke arah Flo. Flo melompat menghindar sesegera mungkin, dan tinju itu pun meremukkan temannya sendiri.

Flo jatuh terseret di tanah. Kawanan beast terdekat seketika mengejarnya, dan sekitar enam sisanya menghambur ke arah pasukan. Sebuah tinju datang, Flo berguling ke samping menghindarinya, yang hampir saja meremukkan kepalanya. Satu lagi datang, terjangan cakar itu hampir merobek wajahnya. Flo segera bangkit, namun salah satu beast seketika menendang perutnya, dan ia pun kembali menghempas dan terseret di tanah. Pada saat bersamaan Flo berusaha menguasai kembali keadaan—sepatunya berdecit, menahan lajunya untuk tidak terus bergulung di lantai ubin putih. Satu beast telah bersiap menadahnya dari belakang. Flo dengan cepat menunduk, dan tanpa memedulikan semua penyerangnya, ia berlari langsung ke arah salah satu personil Counter Beast yang terkapar di lantai—dua sosok beast sedang memakannya hidup-hidup, bertengkar ingin mengunyah daging segar itu duluan, dan bahkan tidak memedulikan teriak histeris prajurit tersebut. Flo menendang salah satu beast tersebut, lalu mengiris leher satu beast lainnya.

“Bunuh aku!” prajurit itu menjerit, berisak histeris meratapi kedua lengannya yang telah putus. “Jangan biarkan mereka memakanku!”

Flo tidak peduli. Dia hanya butuh granatnya. Tangannya manyabet granat milik prajurit tersebut, lalu tikaman kuku tajam melesat dari arah belakangnya. Flo menghindar cepat, melempar dirinya hingga terseret di lantai. Dia bangkit cepat, dan berhasil menghindari lagi satu terjangan cakar. Flo membetulkan sejenak nafasnya yang semakin tidak teratur, sambil menyapu cepat keadaan sekitarnya, mencoba mencerna situasi pertarungan saat ini. Habis sudah kalau begini caranya—tim back up nya berantakan, dan masih ada delapan beast yang harus ditanganinya. Hanya tim penembak jitu yang bisa diandalkan, tapi Fikar barusan telah mengambil tiga dari lima orang penembak jitu tersebut sebagai pelindungnya.

Hanya sepersekian detik waktu yang didapatkannya untuk bernafas lega, dan kini empat beast telah kembali memburunya. Namun satu beast tiba-tiba beralih, tidak memedulikannya dan lebih memilih menikmati daging tubuh prajurit yang tadi—Flo tiba-tiba merasa perih melihatnya yang meronta-ronta liar, tapi dia tidak punya pilihan lain. Dia harus segera menyelesaikan semua ini sebelum situasi menjadi jauh lebih tidak terkendali. Namun satu detik rasa bersalah itu telah memberi cukup waktu bagi satu beast untuk menyergapnya dari belakang. Beast itu mendapatkannya! Kepalan tangannya yang lebar mencengram bahu Flo erat-erat, tidak bersedia melepaskannya. Flo menahan sakit dari kuku-kuku tajam yang menembus hingga ke bawah kulitnya. Dia menoleh singkat ke belakang, melihat rahang besar yang sedang terbuka lebar, dengan liur dan deretan gigi-gigi tajam. Tanpa memedulikan rasa sakit di bahunya, Flo melompat, lalu dengan kedua kakinya menendang ke belakang sekuat tenaga. Cengkraman itu lepas, walau meninggalkan luka menganga lebar pada bahunya. Flo terjatuh di tanah; beast tersebut berusaha meraihnya sekali lagi, tapi Flo berhasil berguling menghindari terjangan kuku-kuku tajamnya. Flo bangkit cepat, lalu tanpa membuang-buang waktu menendang perut beast barusan, melempar makhluk itu keluar jangkauan ruang pertahanannya. Satu beast lagi menerjangnya dengan mulut terbuka lebar, hendak menyantapnya. Flo menarik lepas pin granat di genggamannya, “Ini, kue untukmu”, dia lalu menjejalkannya ke mulut beast tersebut, dan menendangnya menjauh. Flo cepat-cepat berdiri, berlari ke arahnya, dan sekali lagi melompat memberinya tendangan sekuat tenaga. Beast tersebut terlempar ke belakang, menubruk teman-temannya. Flo berlari menjauh mencari perlindungan, lalu granat itu pun meledak. Tapi itu tidak menyudahi perlawanan mereka. Dengan tubuh berantakan dan berdarah-darah mereka masih saja menghambur liar ke arahnya.

Flo kembali menyapu keadaan sekeliling. Tiga beast ini bisa diselesaikannya, tapi empat sisanya yang sedang lahap mengunyah santap malam mereka bukanlah perkara enteng. Satu beast yang baru saja terkena granat, dengan muka jeleknya yang remuk setengah, tiba-tiba telah mengayunkan pukulan liarnya. Mudah saja mengelak dari serangan sekarat seperti itu, dan kini Flo telah masuk ke pertahanannya, menancapkan pisaunya ke perut gempal itu. Tapi sebelum Flo berhasil mengoyaknya, ia berhasil menangkap lengan Flo, dan dengan kekuatannya membanting Flo ke lantai. Kaki besar itu terangkat, dan Flo buru-buru berguling menghindar sebelum terinjak.

Satu terjangan lagi datang, tapi Flo berhasil mengelak. “Fikar! Rina!” raungnya. Dua beast sisanya telah sampai dan kini memaksa Flo untuk mundur sesaat, mengambil posisi bertahan. “Sial, ngapain sih mereka!” Flo bergumam kesal, kemudian dengan satu hentakan ia sekali lagi menerjang memasuki pertahanan beast yang tadi membantingnya.

Teriakan itu percuma, tidak terdengar oleh Fikar, apalagi Rina.

Tinggal beberapa langkah lagi, dan ibunya pun tersenyum padanya. Rina telah semakin dekat, hingga masa lalu pun terasa tidak jauh lagi, seakan hangatnya baru saja ia rasakan kemarin sore. Dan semua harapan itu tiba-tiba luntur. Yang terlihat kemudian adalah kepala ibunya yang hancur berantakan. Saat ia tersadar dan menoleh ke samping, Fikar mengomel marah padanya. Mulutnya mengatup, membuka, mengatup, membuka lagi, begitu seterusnya.

“Kau yang bunuh ibu?” tanya Rina.

“Hah? Masih mengigau? Kau ini ngapain sih?” Fikar marah. “Dengar tidak tadi aku panggil, hah?!”

“Ya atau tidak?” Rina menatap kosong padanya, berharap untuk mendengar kata ‘tidak’.

“Kau ini bisa baca situasi ga sih? Ayo!” Fikar menarik paksa Rina untuk ikut bersamanya.

Rina menepisnya. “Ya atau tidak!” bentaknya.

“Ini tidak lucu Rina! Ya, aku yang membunuhnya, kenapa? Ayo cepat kembali ke….”

Tinju Rina mendadak terayun. Fikar refleks melompat ke belakang, sambil menahan serangan itu dengan kedua tangannya. Ia terlempar jauh, menghantam tembok di belakangnya.

“Asu! Rina kau ini ken….”

Dan Rina mendadak muncul di hadapannya, bersiap dengan ayunan tinju. Fikar segera melempar diri ke samping, dan tinju itu pun telak memporak-porandakan lantai hingga menerbangkan pecahan-pecahan ubinnya ke segala arah. Rina mengejar, tak ingin buruannya lepas. Sinar mata gadis itu terlihat begitu membencinya, untuk hal yang bahkan sama sekali tidak dimengerti Fikar kenapa.

“Rina!”

Fikar meraung, yang justru membuat gadis itu semakin agresif tak tertahan. Rina mengayun pukulan semakin liar, dan dia—menangis? Jejak tipis air mata di sudut matanya itu semakin membuat Fikar yakin ada sesuatu yang teramat salah yang telah diperbuatnya, lebih dari sekedar prasangkanya bahwa Rina masih berada di bawah pengaruh hipnotis. Tapi ibu—apa maksudnya?

“Rina, dengar dulu!” Fikar meliuk dari ayunan pukulannya, langsung masuk ke pertahanan gadis itu, mengait kakinya, lalu membantingnya di lantai dengan satu hentakan kuat. Mereka saling pandang, dengan jarak hanya se-inchi jauhnya. “Kalau kau seperti ini mana aku tahu apa yang salah. Kau bol…” tapi Rina tidak mau mendengar; ia menendang perut Fikar keras-keras, melontarkannya jauh-jauh ke belakang.

Fikar melompat bangun, dan mendadak lutut Rina telah berada tepat di depan matanya. Dagunya terhantam keras, tapi ia berhasil mengendalikan pijakannya untuk menghindari serangan berikutnya. Fikar mundur dan menjaga jarak. Bajunya ternoda merah oleh banjir darah. Rahangnya hampir saja remuk jika sedetik tadi dia tidak berhasil mendorong Rina ke belakang dengan tendangan ke perutnya. Sialnya, Rina sepertinya memang bersungguh-sungguh untuk meremukkan tiap tulang di tubuhnya. Fikar melirik ke arah shotgun yang tadi terlontar dari genggamannya, lalu seketika berlari cepat untuk mengambilnya. Rina mengejarnya. Dengan satu sapuan ringan Fikar memungutnya. Serangan Rina datang lagi, Fikar mengelak. Masih ada dua butir sharpnel 10 di dalam KS-23M miliknya. Rina bersiap dengan ancang-ancang sapuan tendangan. Fikar menunduk cepat menghindari sapuan kuat tendangannya, dan pada saat yang bersamaan menembakkan keluar sisa peluru dari shotgunnya ke arah yang aman. Rina berputar, dan kembali mengibaskan tendangannya. Fikar menangkap kibasan kaki itu, dan menggunakannya untuk melompat dengan menolaknya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan satu tangannya lagi yang bebas mengokokang senjatanya. Saat mendarat berpijak di lantai, lagi-lagi Fikar menembakkan pelurunya ke arah yang aman. Kini ketika KS-23M miliknya telah kosong, dia merogoh ke dalam jaketnya, mengambil 23mm Wave-R, peluru karet yang dampaknya tidak begitu mematikan, walau pada jarak kurang dari 40 m tetap dapat memberikan kerusakan serius—namun daya tahan tubuh Rina seharusnya masih mampu menolerirnya. Saat ini yang bisa dipikirkan Fikar adalah merobohkan anak itu terlebih dahulu, sebelum kemudian dapat berbicara padanya dengan kepala dingin.

Di saat yang sama Flo tak bisa lepas fokus, menanti sesosok beast dengan tanduk di kepalanya yang berlari menyeruduk ke arahnya. Flo buru-buru menyarungkan kembali dua pisaunya, dan ketika kedua tanduk tajam itu hampir menembus tubuhnya, ia dengan cepat meraih tanduk itu, dan melompat membiarkan tubuhnya diseret. Beberapa saat sebelum makhluk itu berhasil menghempaskannya ke tembok, Flo menyentak kuat dan naik ke punggungnya. Kepala makhluk itu terbenam di tembok yang dihantamnya. Flo mencabut kembali dua pisau yang tadi disarungkannya, lalu dengan enteng menusukkannya ke leher beast itu, mengorek dan memutus setiap nadinya terlebih dahulu, sebelum kemudian menariknya ke samping dengan kasar hingga meninggalkan sobekan luka mengaga lebar, dan tentunya banjir darah. Flo menghela panjang; tinggal tiga lagi. Dengan nafas tersengal-sengal Flo berjalan cepat ke arah sisa pasukan yang tersudut, yang kini telah berhasil mengendalikan keadaan dan menahan serangan yang datang. Dengan perisai-perisai itu mereka menghimpit diri di tembok, bertahan dari pukulan-pukulan beast yang frustasi. Satu penembak jitu tewas, empat lagi terluka parah, yang berarti sudah tidak ada lagi back-up dari mereka.

Satu beast tidak jauh di depan Flo terlihat sedang asyik menggerogoti tubuh yang tak lagi bernyawa. Namun begitu langkah Flo telah terlalu dekat dengannya, dia langsung menjatuhkan potongan lengan yang sedang dikunyahnya, dan beralih menghampiri dengan geraman tidak senang. Tubuhnya dipenuhi bekas terjangan peluru, dan jalannya pun tertatih-tatih. Tinggal beberapa langkah lagi mereka akan berpapasan, lalu mendadak beast tersebut menganyunkan lengannya yang panjang. Flo dengan sigap berputar menghidar, dengan langkah lebar masuk ke pertahanannya, dan kemudian pisaunya pun tertancap di leher beast itu. Flo menarik kasar ke samping, dan darah merah kehitaman pun muncrat keluar, memercik mengotori tubuh dan wajahnya. Tidak ada perlawanan berarti darinya. Flo terus saja lanjut berjalan sambil mengatur nafasnya, dan hanya fokus pada dua beast yang sedang menggedor-gedor tembok perisai yang membantasi mereka dengan sisa pasukan Counter Beast yang tersisa.

Flo dengan santai memungut senapan serbu SS2-V1 yang tergeletak di dekatnya. Dia membidik ke arah ke dua beast tersebut. Namun ketika dia menarik pelatuk, ternyata pelurunya tidak lagi bersisa. Flo mendengus kesal, kemudian melemparkannya kuat-kuat ke arah ke dua beast tersebut, dan tepat mengenai kepala salah satunya. Keduanya berhenti menggedor-gedor perisai, dan sekarang beralih ke arah Flo. Tanpa membuang-buang waktu mereka seketika menerjang. Dan kesempatan itu pun dengan sigap dimanfaatkan enam pasukan yang tadinya terhimpit, untuk kembali memuntahkan peluru-peluru tajam. Satu beast tumbang. Temannya meraung marah, yang kemudian mendadak mengambil mayat beast kawannya yang tergeletak didekatnya, dan langsung melemparnya ke arah pasukan. Beast berbadan bongsor itu pun seketika menghambur, berlari kembali ke arah pasukan yang terberai jatuh oleh hantaman itu. Flo juga seketika menghentak dan berlari ke arahnya, sebelum si bongsor itu berhasil mencabik dan menambah korban jatuh semakin banyak.

Namun Flo hanya bisa menyaksikan dengan miris tinju besar itu menghantam keras. Makhluk itu lalu mengangkat salah seorang prajurit yang lunglai, dengan tangannya yang mencekik di leher. Dia mencaplok kepala prajurit itu, lalu menariknya putus, kemudian dengan santai melempar tubuh itu ke samping, dan memuntahkan kembali kepala itu dari mulut lebarnya. Satu prajurit lainnya telah berhasil menguasai diri dan dengan senjatanya dia memberondongkan peluru. Si bongsor refleks mengibaskan ayunan tangannya kuat-kuat ke arahnya, melempar jauh prajurit itu. Lalu Flo pun datang, melompat ke arahnya, dan pisaunya pun berhasil menancap di punggungnya. Flo berhasil menusukkan satu lagi pisaunya, walau tidak berhasil mengincar lehernya dan hanya menancap di bahunya. Makhluk itu menggila dan meronta-ronta, membuat Flo terombang-ambing mengikuti ayunan liar gerak tubuhnya. Lalu tiba-tiba terdengar dentum suara shotgun Fikar, yang dengan sukses memecah konsentrasi Flo. Cengkramannya lepas dan ia pun terlempar jatuh. Flo menengok sekilas ke belakang, mendapati Fikar dan Rina yang sedang berselisih dalam amuk pukulan. Flo berdesis kesal melihatnya, menyumpah mereka berdua yang dari tadi ternyata malah membuang-buang waktu dengan tingkah konyol seperti itu. Flo membawa kesal itu ketika ia menyentak dan kembali menerjang si bongsor.

Peluru sekali lagi berdesing, membuat si bongsor mengaum semakin liar. Dengan satu kibasannya, dua orang prajurit terdekat seketika terhempas tumbang. Flo mendarat di punggung lebar itu, memanjat cepat ke bahunya—di saat yang sama suara shotgun Fikar sekali lagi berdentum. Jemari lentik Flo dengan ganas mencoblos kedua mata lawannya, mengeluarkan kedua bola mata itu. Tangan berbulu si bongsor dengan panik menjangkau Flo, mencengkramnya erat lalu membanting gadis itu menghempas ubin. Tapi si bongsor telah tamat sekarang, dihujani oleh peluru selama hampir sepuluh detik lamanya. Dia pun roboh. Dan bertepatan dengan itu shotgun Fikar kembali terdengar.

Mereka semua seketika beralih ke asal suara, melihat Rina yang terjengkang. Gadis itu berdiri kembali, dengan bahu kiri membengkok ke arah yang tidak normal. Rina meraung marah. Ada yang aneh dengan tubuh anak satu itu: di sepanjang punggung tangannya mencuat keluar tulang pipih tajam yang mirip seperti pisau iris. Lebih lagi, di sekujur tubuhnya terlihat tulang-tulang runcing yang mencuat tajam mulai dari ujung kedua sikunya, berderet di sepanjang pungggungnya, turun hingga di bagian pergelangan kaki, yang berakhir dengan sepasang taji di belakang tumitnya. Dengan santai Rina membetulkan bahunya, lalu kembali menerjang ke arah Fikar.

Flo masih terperangah, namun kemudian dia seketika tersadar dari keheranannya begitu dikagetkan desingkan peluru senapan serbu SS2-V1. “Jangan!” Flo sontak berlari cepat ke arah pasukan yang membidikkan senjatanya. “Jangan tembak, idiot!” Flo menendang salah seorang dari mereka, hingga menubruk yang lainnya. “Itu Rina!”

“Maaf, tapi….”

“Berisik! Jangan tembak artinya ya jangan tembak!” raung Flo. Dia pun segera berlari menyusul Fikar dan Rina.

Fikar mengarahkan shotgun-nya, Rina kembali menepisnya. Pukulan Rina datang lagi. Fikar berkelit, dan walaupun berhasil dihindarinya, masih saja berhasil merobek kulitnya oleh sayatan tipis tulang di sepanjang punggung tangan Rina. Tembakan barusan telah membuatnya tambah bringas, seakan gadis itu tidak lagi mengenali Fikar. Pukulannya semakin membabi buta dan sulit dihindari sejak deretan tulang-tulang itu perlahan mulai mencuat keluar. Beberapa hunter memang ada yang berubah jadi beast oleh karena MRV di tubuhnya, sebelum akhirnya mati mengenaskan dengan kerusakan otak ataupun gangguan hormonal tubuh. Tapi Rina adalah evolved, yang seharusnya sudah bersimbiosis sempurna dengan Rex Virus.

Satu tendangan berputar dari Rina, dan Fikar segera menunduk cepat. Celah telah terbuka lebar; Fikar menarik pelatuk dan menembak paha Rina. Rina berteriak kesakitan, tapi kemudian langsung berputar dan menyapukan lagi sebuah tendangan, seakan tembakan tadi tidak berarti apa-apa terhadapnya. Fikar segera melompat mundur menghindar. Lalu datang lagi Rina dengan tinjunya yang melesat cepat, dan saat itu pula Flo muncul, langsung memasuki pertahanan Rina. Flo menarik tinju itu, menjegal pijakan kaki Rina, lalu dengan tubuhnya menganggkat dan melempar Rina hingga terjerembab terbanting di lantai.

“Dia kenapa?” tanya Flo cepat dengan keingintahuan yang sangat.

“Tidak tahu”.

“Hah? Tidak tahu bagaimana, kau dan dia dari tadi—” Percakapan itu terhenti saat Rina mendadak menerjang kembali, melompat dengan ayunan tinju kerasnya; Fikar dan Flo segera berpencar menghindar. Lantai ubin hancur berantakan. Rina melirik memilih mangsa, dan kemudian memutuskan untuk mengejar Flo.

Rina mengayunkan sapuan lebar, Flo menunduk dan bersamaan dengan itu langsung memukul tangannya ke atas dengan pangkal gagang pisaunya. Dia bergerak cepat, masuk lebih jauh dan menyikut keras di persendian pangkal lengan atas Rina. Setelahnya Flo meraih tulang di bagian punggung Rina, menarik dan memutar gadis itu hingga keseimbangannya hilang, lalu menjatuhkannya dengan sambil mengunci tangannya ke belakang. “Heh, kau kenapa Rina?”

Tapi dengan tenaganya Rina dengan mudah melepaskan kuncian lengannya, dan Flo pun segera mundur menjaga jarak. Rina berdiri. Dari lututnya gadis itu mencabut keluar tulang di kakinya, dan menggenggamnya seakan-akan itu adalah pedang pendek.

“Hah?! Yang benar saja”, gumam Flo, dan dia kembali menghentak masuk ke pertahanan Rina.

Rina menyabet kuat, namun pada saat yang sama Fikar menembak tangannya yang menggenggam tulang itu. Flo tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, kembali mengincar persendian lengan atas Rina, lalu berputar dan menghantam kuat lehernya dengan pangkal pisau, segera bergerak lagi ke belakang tubuh Rina dan menendang belakang lututnya hingga kakinya tertekuk, dan akhirnya menendang belakang leher Rina, memaksanya mencium lantai. Namun sejenak kemudian Rina bangkit lagi, dan tiba-tiba melempar pedang tulangnya yang tadi. Flo menangkisnya, dan Rina mendadak menyembul tepat di depannya, menggenggam kuat tangan Flo, begitu kuatnya hingga seakan dia bermaksud meremasnya sampai patah. Fikar menembak lagi, tepat mengenai samping perut Rina, tapi gadis itu hanya beringsut dan menahan sakit. Dihantamnya perut Flo keras-keras, lalu ia menghantam lagi, dan sekali lagi, hingga membuat Flo muntah darah. Melihat lawannya lemas tidak berdaya, Rina langsung melemparkan Flo ke arah Fikar, dan Fikar pun segera menangkap tubuh Flo. Sekejap kemudian Rina mendadak telah sampai, bersiap dengan ayunan tinju. Fikar tidak sempat menghindar ketika Rina meninju tubuh Flo, yang ikut membuatnya terhempas.

Rina melompat ke arahnya. Fikar buru-buru menendang tubuh Flo menjauh darinya, dan dia sendiri pun berguling menghindar sebelum dilumat injakan Rina. Peluru-peluru tajam mulai ditembakkan, menahan gerak Rina, yang membuat gadis itu kalut dan kelabakan. Fikar menembakkan Wave-R, namun sasarannya bukan Rina, melainkan tim Counter Beast, untuk menyuruh mereka diam dan tidak ikut campur.

Rina kembali menerjang ke arah Fikar. Peluru Wave-R tidak bisa menghentikannya, jadi kali ini Fikar memutuskan untuk menggantinya dengan sharpnel 25. Dengan asumsi tulang-tulang keras melindunginya bagaikan baju zirah. Fikar sungguh berharap Rina dapat menahan efek kerusakannya.

Rina menempelnya dengan hujan serangan. Fikar mundur menghindari ayunan keras pukulan ke arahya, perlahan melangkah ke belakang dan terus menjaga jarak, sembari itu tangannya mengambil sebutir sharpnel 25 dari sabuk peluru yang membebat di bagian paha kiri jeans biru gelapnya. Punggung Fikar ternyata kini telah menyentuh tembok; dia tidak bisa mundur lagi, dan tinju Rina telah di depan mata. Fikar memiringkan kepala menghindarinya, dan tinju itu telak menghantam tembok. Kali ini Rina bersiap, mengambil ancang-ancang untuk menghantamkan lututnya. Tapi Fikar lebih dulu melayangkan sapuan tendangan ke sisi luar lehernya, namun Rina bergeming, dan bahkan menangkap kaki Fikar. Rina meremasnya kuat, lalu masuk ke pertahanan Fikar dengan tinju mengarah ke dagu. Fikar menjatuhkan diri, dan pada saat bersamaan menendang kuat persendian pangkal lengan atas Rina, hingga melepas cengkramannya.

Buru-buru Fikar segera menyuapkan peluru ke senjatanya. Posisinya yang tergelatak di lantai benar-benar tidak menguntungkan, dan Rina bahkan telah kembali menerjang. Fikar menahan serangan itu dengan tendangan ke perut Rina, dan kemudian membidik dengan shotgun-nya. Rina langsung menepis moncong senjata yang mengarah padanya itu. Dan ketika Fikar menyentakkan kaki untuk melemparnya mundur, Rina cepat-cepat mengapit erat kakinya, kemudian ketika kembali menjejak tanah dia langsung menginjak perut Fikar, kemudian menginjak lagi perutnya itu, lalu menginjak dadanya hingga menekan rusuknya. Pada saat bersamaan Fikar mendapatkan celah dan berhasil menembakkan KS-23M miliknya ke dada Rina, menerbangkan gadis itu jauh-jauh darinya.

Tidak ada lagi serangan dari Rina, sepertinya dia benar-benar tumbang. Fikar pun hanya berbaring saja, tubuhnya serasa mau pecah. Dia mencoba untuk duduk, sehingga bisa melihat keadaan sekeliling dengan lebih jelas. Dan mendadak dia pun terbatuk dan muntah darah. Dua personil Counter Beast yang masih bertahan segera menghampiri Rina, dengan masih mengarahkan pucuk senjatanya untuk berjaga-jaga seandainya Rina masih bisa bangun. Fikar masih terbatuk, dan bersamaan dengan itu merogoh jaketnya mengambil dua butir Wave-R. Dengan tangan yang masih bergetar sulit dikendalikan dia mengokang KS-23M miliknya, lalu mengisikan dua peluru itu ke dalam senjatanya. Fikar membidik, ke arah salah seorang personil yang sedang berjalan ke arah Rina. Dia menarik pelatuk, dan prajurit itu langsung jatuh. Temannya langsung beralih ke arah Fikar, tapi Fikar telah mengokang senjatanya dan menembak lagi. Dia juga jatuh seketika.

Sambil mengerang menahan nyeri di tubuhnya, Fikar menarik badannya, membetulkan posisi duduknya hingga membuatnya kini dapat bersandar di tembok. Fikar mengambil ponselnya, lalu meng-input nomor telepon. Dia menunggu sebentar. Beberapa detik kemudian seseorang di seberang menjawab panggilannya.

“Rudi, cepat ke sini”, ujar Fikar cepat, bahkan sebelum orang itu berhasil mengucapkan sepatah kata untuk sapaan. “Tolong tahan tim pembersih”, lanjut Fikar lagi.

“Hah? Ngopo?” orang itu bertanya kebingungan, “Apa yang terjadi di sana?”

“Sudahlah, cepat ke sini, ak—”, Fikar terbatuk , “aku butuh bantuan soal Rina”.

“Heh, ngopo kowe?”

Tapi Fikar langsung mematikan ponselnya. Dia bangkit berdiri, berjalan ke arah Rina. Namun baru beberapa langkah dia pun ambruk dan tidak sadarkan diri.

***

Beberapa menit telah berlalu. Rina bangun dengan kepala yang berdenyut-denyut. Dia duduk, melihat sekelilingnya yang bergelimangan mayat: beast, para persnonil Counter Beast, Flo, dan—Fikar? Rina bergegas berdiri, namun dia mendadak terhenti, merasakan bagian dadanya yang nyeri seperti habis dihantam kuat oleh sesuatu. Tapi dia pun mengabaikan nyeri itu dan mulai berjalan menghampiri Fikar, sambil masih terus mengingat-ingat apa yang telah terjadi sampai semua keadaan di tempat itu kacau. Seingatnya tadi dia dan Fikar ditugaskan untuk menangani gerombolan tipe advance yang.... dan Rina pun tiba-tiba meredup. Dia kini ingat bahwa baru saja dia dan Fikar berseteru. Dia juga memukul Flo tadi. Fikar pasti akan marah. Coba kalau om Rudi nyuruh Abe dan Juno saja, sekarang kan pasti dia sedang di rumah nenek Flo. Tapi Fikar yang salah, asal main tembak saja.

Rina kemudian merogoh ke dalam kantong celana, dan ketika dia menarik tangannya keluar, bulir-bulir kacang ijo berjatuhan ke lantai. Rina mengosongkan kantung celananya dari biji-biji kacang ijo yang tersisa, setelahnya ia lalu berpaling, dan memutuskan untuk berjalan pergi meninggalkan stasiun tersebut, meninggalkan Fikar—dia jahat sih….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar