Minggu, 07 November 2010

bab 2

Rule of Rose: Finding You (Tenggelam: Dalam Lautan Bunga)

“Wah angel nek kuwi”, kata Rudi, “14 orang tewas, 11 orang luka berat, 2 hunter terluka parah, 1 hunter berstatus missing. Pusat pasti—“

“Dengar, aku akan membawanya kembali, dan hapus status missing itu dari laporanmu, ganti dengan cuti”.

“Fikar” Rudi berubah lebih serius, “situasinya tidak tepat; Tristen sedang mengecek semua laporan kegiatan ketika kecelakaan itu terjadi. Masalahnya cuma itu”.

“Tristen teman kita, kan?”

Rudi memelankan suaranya, “Rina itu evolved, kau lupa? Pusat tidak akan mau mengambil resiko dengan membuat negara mempermasalahkannya lebih jauh, apalagi jika sampai meminta kuasa atasnya dengan alasan kewarganegaraan”.

“Yang tahu Rina evolved hanya pusat, dan kita berdua”.

“Justru itu; kalau negara sampai tahu mereka justru akan tambah bringas menginginkan Rina. Pusat akan melakukan apa saja supaya evolved tidak jatuh ke negara. Mereka pasti sudah mengirim orang untuk mengamankannya kembali ke Prancis. Tidak ada yang bisa kau lakukan jika dia sudah dalam status di bawah pengawasan

“Dia tidak akan di bawah pengawasan jika mereka tidak menemukannya”.

“Apa yang akan kau lakukan? Menyembunyikannya? Kita sudah jadi anjing pusat, mudah saja mereka menyingkirkan kita. Jika mereka mengancam dengan berkhilah pasokan HPIR-3 telat dikirim, kau bisa apa?”

“Aku akan bawa Rina pulang, dan kau harus ganti statusnya menjadi cuti. Aku jamin pada saat mereka melakukan pengecekan Rina sudah pulang”.

“Ngeyel banget kowe, kita sekarang saja tidak tahu dia ada di mana”.

“Pokoknya kau harus tahan mereka sebelum aku berhasil membawanya pulang”.

Rudi mendesah capek, “Aku tidak bisa jamin”.

“Kan sudah kubilang aku yang jamin”.

“Kau bilang dia marah padamu, kan? Jika dia tidak ingin bertemu denganmu, seberapa keras kau mencari kau tetap tidak akan bisa bertemu dengannya. Kecuali mungkin kau tidak mandi selama satu bulan”, Rudi tertawa.

Fikar menatapnya tajam.

“Oke, sorry”.

“Bagaimana keadaan Flo?” tanya Fikar tiba-tiba.

“Dia sudah siuman dari dua hari yang lalu. Kondisinya sudah jauh lebih baik; satu atau dua minggu lagi paling dia sudah bisa keluar”.

Fikar menghela nafas, “Sial, aku betul-betul tidak mengerti, yang kemarin itu bukan Gina, aku yakin itu”.

“Katamu Rina juga sangat yakin itu ibunya”.

Fikar diam sebentar, “Itu aku juga tidak mengerti. Mungkin karena hipnotis, mungkin gara-gara granat CC-4 yang terlalu kuat, atau mungkin baunya cuma sekedar mirip?” Rudi hanya diam mendengarkan, dan Fikar pun lanjut berkata, “Lagi pula siapa yang tahu kalau makhluk itu ternyata bisa memanipulasi bau tubuhnya?”

“Dan dari mana dia bisa tahu itu bau yang persis sama dengan ibunya Rina?”

Fikar diam tidak menjawab, lalu kemudian berkata dengan dingin, “Aku mau istirahat”.

“Heh, ngusir ki ceritane?”

“Aku harus istirahat; jam kunjungan tamu juga sudah selesai. Iya kan, suster?”

Rudi berbalik, seorang suster sedang berjalan ke arah mereka mendorong kereta kecil, yang di atasnya ada berbungkus-bungkus obat. Dia terlihat bingung ketika Rudi menatapnya, terlebih Fikar yang tersenyum kepadanya.

Rudi menghela, “Oke, suk pagi tak jemput”, katanya, dan kemudian keluar dari bangsal.

Fikar menatap (deskripsi bangsal rumah sakit) langit-langit. (Dia besok keluar dari Rumah sakit setelah hampir empat hari hanya terbaring saja) Di langit-langit Fikar melihat masa lalunya. Di situ ada sebuah foto pernikahan....

Di foto pernikahannya ia terlihat tersenyum pada semua orang. Dia pun telah menjadi ibu pada akhirnya—jelas terlihat ketika di suatu pagi wajah ceria itu menatap buah hati dalam pelukannya. Lilia Destikasari. Kecil, dengan mata yang masih terpejam kantuk, bergantung dalam pelukan ibunya. Zeke—Fikar menatap pria itu dari kejauhan, yang ikut menggoda Lilia kecil yang sedang tidur. Pada akhirnya jika kau bisa menaklukan hati seorang peri hutan yang liar, dia akan memperlihatkan keindahan dan kelembutannya.

Waktu berjalan cepat ketika masa lalu coba untuk diingat kembali. Bocah yang dulu menggelandang di jalan-jalan kota, mencari uang untuk ayah yang sering memukulnya, kini adalah seorang perwira yang loyal pada negara. Padahal dulunya adalah seorang pencuri jalanan. Sekarang waktunya untuk berpisah pada keluarga ini, yang telah mengangkatnya dari kemiskinan. Sebelumnya tidak pernah tahu, bahwa memiliki kakak perempuan itu ternyata sangat mengesalkan. Dia akan terus memperlakukan kau bagai salah satu bonekanya yang bisa diajak main. Lalu ketika dewasa kakak perempuan itu ternyata bisa memiliki sinar yang menentramkan. Dia sudah punya suami kini, jadi ada yang akan melindunginya. Tidak perlu terlalu mencemaskan segala sesuatunya.

Mulai sekarang Fikar Riandri adalah milik negara, bukan karena ia anak terlantar, tapi karena ia adalah alat negara.

“Fikar!” kak Gina berseru. Dia lalu melangkah cepat menghampiri, masih sambil menggendong buah hatinya—kak Zeke ikut melangkah di sampingnya. “Ayah, dia lulusan terbaik loh”.

Pak Firman bergumamam meng-iya-kan. “Ini surat pemberitahuannya”, katanya kemudian, sambil menaruh kembali cangkir teh ke meja di depannya. Tangannya mengangkat selembar kertas yang menjadi tanda bukti. Dan Fikar seketika tersenyum bangga. Hanya senyum saja yang bisa ia utarakan kali ini, lebih dari itu dia akan meledak. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tentang betapa berat dan melelahkannya hidup di asrama, perjuangannya untuk membuat keluarga Santoso bisa berbangga padanya, juga karena Fikar saat itu selalu membayangkan diri kak Gina yang menyambutnya dengan kegirangan—dan semua yang dilihatnya kini nyata.

“Mana, lihat”. Kak Gina membaca sebentar. “Kau akan ditempatkan di mana?”

“Belum tahu”, kata Fikar. “Upacara penutupannya minggu depan. Kak Gina bisa datang?”

Dia menatap suaminya dengan sedikit khawatir. Tapi kak Zeke seketika langsung menjawab cepat, “Bisa kok, tenang saja”.

“Persiapan pindahannya bagaimana?” pak Firman bertanya. “Tapi masalahnya sebetulnya bukan itu—kasihan Lilia kalau kau juga pergi, jauh soalnya. Ayah saja yang pergi”.

Fikar seketika meredup. Memang tidak mungkin sepertinya. Tapi pak Firman juga sudah lebih dari cukup sebetulnya. Yang mendorongnya untuk jadi seperti sekarang juga adalah beliau. Dan beliau juga yang lebih pantas untuk kehormatan itu. Dia mungkin akan membanggakannya di antara teman-teman seangkatannya—walau Fikar memang bukan anak kandung dari jendral bintang dua itu.

“Fikar!”

Dan Fikar pun langsung menoleh ke arah pintu masuk. Rina berdiri di sana, dengan mata riangnya. Dia segera berlari menubruk ke arah Fikar.

“Kau mau ikut Rina?” tanya pak Firman tiba-tiba.

“Ke mana?” Rina beralih ke arah kakeknya.

“Magelang”, jawab Fikar—Rina seketika beralih cepat padanya.

“Kak Fikar sudah jadi tentara loh”, ibunya berkata.

Mata Rina membesar, berbinar kagum. “Wah, hebat! Keren! Aku mau ikut! Boleh ayah?” dia beralih ke arah ayahnya, tersenyum lebar, begitu lebar, begitu ceria. Dan ayahnya pun mengangguk menyetujui.

Waktu melompat lagi. Sulit mendapatkan waktu kosong untuk pulang berkunjung ke kediaman keluarga Santoso. Ketika Fikar melangkahkan kaki di rumah itu, yang menyambutnya adalah Lilia. Dia terlalu mirip, bagaikan miniatur ibunya sewaktu kecil dulu. Rambut hitamnya sepunggung, meliuk-liuk bagai ombak. Mata coklat dari tubuh mungil itu menatap ingin tahu. Ia sedikit bersembunyi di balik pintu yang setengah terbuka.

Fikar tersenyum padanya. “Kakek ada?”

Dan gadis itu pun seketika berlari masuk ke dalam. Lalu sebentar kemudian pak Firman datang dan mempersilakannya duduk, di ruang tamu. Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi itu terasa menyakitkan.

Tawa lantang terdengar begitu Fikar menjabarkan karirnya, tentang misi kemanusiaannya di Timur Tengah, tentang bagaimana ia berhasil masuk dalam jajaran personil Kopassus, juga pangkatnya kini yang seorang mayor. Tapi tawa itu mendadak hilang begitu ia mengabarkan tentang kepergiannya ke Prancis beberapa bulan lalu, yang membuat dirinya kini berbeda, yaitu sebagai seorang hunter dengan lisensi A.

“Kini, begitu pulang, kewajibanmu bukan lagi melindungi—dan kau akan membunuh Gina?”

Fikar terkejut dengan kalimat itu. “Tidak, aku tidak mungkin….”

“Zeke meninggal seminggu yang lalu. Gina ada di kamarnya, terinfeksi. Kata dokter paling lama dia hanya bisa bertahan dua bulan. Aku sendiri mungkin hanya bisa bertahan beberapa minggu lagi”.

Fikar menelan ludah. Beberapa orang berpikir pemakaman terbaik adalah eutanasia sebelum pikiran sepenuhnya hilang dan tergantikan oleh rasa lapar sosok beast. Apakah pak Firman menawarkan agar dirinya yang akan melakukan eksekusi tersebut?

Lilia ternyata sedang mengintip ingin tahu. Dia lalu berlari masuk, dan saat itu lah Fikar menyadari kehadirannya barusan.

“Dia tidak”, jelas pak Firman, ketika Fikar menatap kepergian gadis kecil itu. “Kami sangat bersyukur dia tidak. Rina juga tidak. Untunglah dua anak itu tidak”. Wajah pak Firman berubah pilu.

Kepulangan kali ini jelas tidak menyenangkan. Kemarin adalah pemakaman pak Firman, dan rumah besar itu tiba-tiba telah menjadi kastil horor. Jika Rina sedang tidak di rumah, suasananya begitu sepi. Beberapa pembantu yang setia tetap tinggal, tidak takut jika mereka juga akan terinfeksi—nyatanya mereka tidak terinfeksi, Infectus seperti halnya Rina dan Lilia. Dan Lilia pun lebih suka menemani ibunya yang terus-menerus terbaring lemas di tempat tidurnya. Demam kak Gina semakin mengkhawatirkan tiap harinya. Lalu di dapur, Rina justru sibuk mengobrak-abrik segala sesuatunya. Bajunya belepotan bekas noda—padahal Bi Mira dan Bi Sarmi tadi sudah menawarkan diri untuk membuatkannya. Rina menolaknya, berkata bahwa buatannya adalah spesial, seperti yang biasa dibuat ibunya.

Di kedua tangannya ia membawa semangkuk bubur kacang ijo tersebut. Terus saja berkata dengan bangganya bahwa itu adalah resep rahasia dari ibunya. Sangat bergizi, katanya, jadi ibunya bisa cepat sembuh. Tapi bagi Fikar itu terlihat seperti semangkuk penuh ramuan sihir yang mengerikan—berantakan di sana-sini, dan justru terlihat menjijikkan.

Fikar lalu membukakan pintu kamar. Ada bunyi seseorang menggerogoti sesuatu. Baunya sangat anyir, tajam menusuk. Mata itu kosong, tidak peduli pada sekitarnya. Dia terus mengunyah. “Krak”, suara tulang patah, dan dia masih mengunyah.

“Ibu?” Rina manatapnya takut.

Dia menoleh sebentar, lalu kembali asyik menggerogoti tubuh mungil itu, menguyah Lilia kecil....

Malam itu juga ia dan Rina membawa kak Gina ke luar kota. Fikar menyetir mobil, dan Rina duduk di sebelahnya. Sesekali Fikar berpaling padanya, hanya untuk melihat Rina yang masih saja terus menunduk ke bawah dengan muka murung. Tiba-tiba kak Gina, untuk kesekian kalinya, kembali menggedor dinding mobil box. Rina sontak tercekat kaget, bergidik ngeri di kursinya. Kembali Rina terlihat seakan ingin menangis. Fikar berhenti memandang dengan haru, kemudian kembali melayangkan pandangannya ke depan. Dia merasa ada sesuatu yang terus berpusar dengan sangat tidak mengenakkan di perutnya, dan ia ingin memuntahkannya segera. Perasaan yang sangat tidak nyaman, karena ia harus membuang kak Gina jauh-jauh dari masyarakat. Fikar, untuk pertama kali dalam karirnya, telah melanggar perintah yang diberikan padanya. Tapi bagaimanapun juga, eksekusi mati adalah pilihan yang egois, yang sebetulnya hanyalah dalih-dalih halus untuk mengamankan nyawa sendiri. Mereka sepertinya lupa bahwa beast sebelumnya juga adalah manusia. Yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu, hingga saat ketika vaksin berhasil dikembangkan seperti yang dijanjikan WHO, saat suatu hari nanti ia dan Rina akan kembali lagi untuk menjemput kak Gina pulang ke rumah.

Tapi Ternyata tidak mudah menjaga sesuatunya agar berjalan sesuai harapan. Dan sekarang Rina telah pergi entah kemana. Apa yang dipikirkan anak satu itu?

***

1 komentar:

  1. Masih bersambung,,,, ini kira2 baru 1/4 cerita di bab 2.... cuma untuk kasih gambaran aja tentang apa yg terjadi dgn masa lalu Rina dan Fikar :D

    BalasHapus